Minggu, 24 Februari 2013

Sup Cinta


Cerita singkat dari kehidupan nyata……
Tanggapan insan terhadap kankerku beragam. Kadang-kadang ia adalah seorang dokter: “Lakukan ini, Jangan lakukan itu.” Kadang-kadang ia menjadi pengasuh-pemberi perhatian, mencukupi aku apa pun yang ia pikir aku butuhkan. Kadang-kadang ia hanya mau merangkul saja. Baginya itulah bagian paling berat.
Memegang kekasihnya yang lemah dan sakit-sakitan membantu pergi kekamar mandi untuk muntah, memperhatikan aku berjuang dalam penderitaan untuk keluar dari tempat tidur, kadang-kadang menjadi beban tak tertanggungkan bagi dia. Aku kelihatan seperti seorang penderita kanker, kulita pucat, mengenakan tutup kepala rajutan, memakai baju hangat dan celana panjang, kurus dan lemah. Kadangkala aku terlihat seperti kematian itu sendiri.
Tidak mungkinlah bagi kekasihku belajar seharian penuh di sekolah, pulang ke rumah dan bersiap menuju rumahku yang tak jauh dari rumahnya, dan kemudian menghadapi kenyataan bahwa aku bisa saja sedang menghadapi ajal. Ia melakukannya dengan baik pada hari-hari pertama dan kedua. Ia belajar, menjaga adik, mengerjakan tugas sekolahnya, dan menjagaku dengan segala cara yang bisa ia lakukan, namun ia berjuang untuk menguatkanku. Cara Insan memperlihatkan cintanya adalah dengan berbuat, caraku memperlihatkan kasihku dengan terus bertahan hidup. Kebutuhan kami berdua tak dapat terpenuhi seutuhnya.
Insan menjadi raja sup. Ia dan adiknya menyukainya dan dapat makan sup kapan saja, dua puluh empat jam dalam sehari. Aku pun senang sup. Ada beberapa sup yang kunikmati, terutama sup yang panas dan asam, tetapi perut yang berlebihan kemo dan penyinaran setiap hari tidak akan cocok dengan sup tersebut. Selama waktu dua minggu, Insan membuat tujuh sup yang berbeda dan aku pun terkesimak melihatnya, tetapi tetap saja perutku ini tidak bisa menerima semua sup itu.
Suatu malam, masih dalam masa aku mendapatkan kemoterapi dan penyinaran, aku sangat lemah, sakit, dan tak berdaya. Aku butuh dipegang, dituntun. Aku bangun terhuyung-huyung dari tempat tidur, merasa mual, dan dengan susah payah menuju kamar mandi. Tiba-tiba Insan mengetuk pintu kamarku yang tidak terkunci, karena seperti biasa yang memberiku makan malam adalah Insan. Aku pun berkata dengan penuh rasa sakit “tidak dikunci Insan masuk saja.”  Insan yang telah membawa makanan bergegas membuka pintu dan melihatku telah jatuh dari tempat tidurku, dia menjatuhkan makanan yang ia bawa lalu bergegas menggendongku kembali ke tempat tidurku. Ia memanggil ibu di ruang keluarga dan seluruh isi rumahku pun berlari menuju kamarku. Seperti biasa mereka menceramahiku untuk tidak keluar kamar sendiri, aku hanya mengangguk lemas. Insan pun mengambilkan sup yang telah ia buat dari rumahnya, seperti biasa dia menyuapiku dengan penuh perhatian dan kelembutan. Tetapi sama halnya dengan hari-hari sebelumnya saat aku memakan sup, perutku tidak menerima semuanya dan perutku langsung terasa mual. Insan pun menuntun ku turun dari tempat tidur dan membawaku ke kamar mandi. Saat-saat seperti ini selalu membuatku terharu, Insan tidak sedikitpun jijik dengan muntahan-muntahan ku. Insan setia menemaniku. Setelah aku tertidur Insan pun pamit kepada kedua orang tuaku, lalu bergegas pulang.
Pagi hari pun tiba, aku terbangun dari tidurku yang lelap semalam. Rasanya aneh, tidak seperti biasanya Insan tidak kerumahku untuk mengingatkan ku makan dan meminum semua butiran-butiran obat itu sebelum ia berangkat sekolah. Ah mungkin dia telat bangun dan kesiangan, pikiran positif yang selalu aku pikirkan saat ia tidak ada kabar seperti itu. Menunggu siang hari jam Insan pulang sekolah, ia pun tak kunjung terlihat batang hidungnya dihadapanku. Akupun mulai panik dan rasanya sangat tidak mungkin Insan tidak ke rumahku.
Seketika suara ketukan pintu pun terdengar, aku berteriak “Masuk saja, tidak ku kunci pintunya.” Dan masuklah seorang laki-laki yang menggunakan kaos hitam dan celana jeans panjang dengan sebuah mangkuk ditangannya yang entah berisi apa. Sambil masuk ia tersenyum dan berkata “Selamat tanggal 09 yaaa, semoga ada tanggal tanggal 09 lain untuk kita J.” Aku pun tersentak untuk melihat kalender dan benar sekali ini tanggal 09, ternyata Insan sengaja membuatku panik tadi pagi. Dia langsung memberiku sebuah mangkuk yang seperti biasa berisikan sup hangat. Insan menyuapi sup itu untukku, dengan sangat senang aku memakan sup itu. Seketika perutku mulai mual, tetapi aku tidak ingin mengecewakannya akhirnya ku tahan mual itu dan terus menghabiskan sup buatan Insan.
Saat suapan terakhir sup itu, aku mulai merasa tidak kuat untuk menahan mual ini. Akhirnya aku muntah dan muntah ini pun terasa berbeda. Sakit kepalaku yg sangat menusuk ini yang membuat muntah ini berbeda. Tiba-tiba aku tak sadarkan diri, dan Insan pun sangat panik. Dia berteriak memanggil ibu dan ayahku. Mereka bergegas membawaku ke rumah sakit biasa ku di rawat.
Dengan muka pucat Insan menunggu di depan ruang aku diperiksa bersama ibu dan ayahku. Saat dokter keluar dari ruangan, mereka terburu-buru menanyakan kabarku. Dokterpun terlihat lemas dan berkata “Badannya tak menerima semua obat-obatan kemoterapi yang telah kita lakukan.” Penuh rasa cemas Insan memasuki ruangan dan menghampiri tempatku berbaring. “Kenapa nggak bilang sih kalo gak kuat makan sup itu? Kenapa? Kan jadi kambuh gini…..” Berbagai pertanyaan dan pernyataan keluar dari mulutnya, aku hanya tersenyum dan menjawab “Aku tak ingin kau kecewa atas sup yang telah kau buat untukku, sup buatan mu sangat enak terima kasih yaa.” Insan pun menggelengkan kepalanya dan mengelus kepalaku “Lain kali akan ku buat sup yang tidak membuat mual seperti ini, aku janji…” Aku pun kembali tersenyum. Dan setelah itu aku pun tertidur pulas.
Ayahku pulang untuk menjaga adikku dirumah, ibuku menungguku di sofa yang terletak disudut ruanganku terbaring. Dan Insan pun tak lepas dari kursinya untuk terus menjagaku tanpa mempedulikan bahwa besok ia harus sekolah.
Pagi hari, saat Insan terbangun dari tidurnya. Dia membangunkan ku untuk sarapan dan minum obat. Tetapi aku tak terbangun, aku tetap terjaga dalam lelapku. Dengan penuh cemas ia membangunkan ibu dan memanggil dokter. Tiba-tiba aku terbangun dan seperti tidak ada apa-apa, aku memanggil Insan dan berkata “Jaga dirimu, jaga ibu dan ayahku, jaga kiting (adikku), aku percayakan semua padamu ya J.” Dengan senyum Insan menjawab “aku akan menjaga mereka semua, termasuk dirimu. Kamu harus kuat.” Dan aku pun kembali tidak sadarkan diri, dan mungkin saat itulah saat terakhir Insan bertemu denganku. Insan pun menangis lemas tidak percaya akan kenyataan bahwa perempuan yang selama ini ia jaga dengan penuh kasih telah tiada.
-“Selalu terbukti bahwa cinta tidak mengerti kedalamannya sendiri hingga saat perpisahan” khalil gibran-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar